Selasa, 11 November 2014

Tunggu saja

di batas kota, kita ialah sepasang yang di tengah garis
lalu kita merekatkan pelukan dengan manis
sunyi, hanya suara napas kita yang bergantian
mencipta eufoni, dari rindu kita yang komponis

di perpisahan kali ini
kau dan aku bak lilin
lilin yang tak pernah mau mati
namun harus

sebentar lagi, ketika peluk bertambah erat,
ada yang diobituarikan--yaitu kebersamaan,
namun tidak pada detik di arloji yang tetap hidup
membuat detak di hati kian degup

barangkali..

 "di perpisahan kita yang ke entah
decit bulbul seperti berubah menjadi harpist pengiring kematian" katamu.

dan kataku, tak apa,
biarkan dan ikhlaskan.

sampai nanti kita kembali lagi
kita coba menjadi Tuhan
kita hidupkan kembali kebersamaan

dan tunggu saja,
dalam pertemuan selanjutnya
kita kembali satu meja
menyesap kopi dari cangkir masing-masing
yang membuat nada
hingga terdengar seperti eufoni paling dahsyat,
sambil membaca puisi-puisi dari penyair hebat

dan mana sajak yang kau pilih?
kalau aku ini saja..
Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”milik Joko Pinurbo.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar