Minggu, 30 November 2014

Anak asu


Saat bayi kau diberinya asi
Sudah besar kau teriaki dia asu.
Kau tak mau dipanggil anak asu,
Tapi ibu menggonggong, kau balas dengan melolong.

2014.

Minggu, 16 November 2014

Aku, Kau, dan koloni Kunang-kunang yang pergi

/1/
Di langit kamar
sajak-sajak menyembul
kita terdiam

/2/
Di langit kamar
sajak bak kunang-kunang
berpendar--terang

/3/
Namun perlahan
buntut-buntut lentera
menghilang--pudar

/4/
Seperti sajak
para penyair tentang
suatu hilang

/5/
Seperti kisah
kasih yang tabah oleh
kecup yang luruh

/6/
Kini koloni
itu tinggalkan sunyi
tinggalkan sepi

/7/
Membuat lidah
lidah kita mencipta
sumbu dan lilin

/8/
Membuat debar
nyalakan api kecil
di dada kita

/9/
Menyala-nyala
Agar tak takut
oleh gelap, pun pekat

/10/

Di kamar ini
sisa kita yang akan
saling melepas

/11/
Telanjangi smua
genggaman yang kan tanggal
Ya, hari ini!

/12/
Terimakasih
atas segala tema
puisi kita

/13/
Terimakasih
untuk 40 koloni
penebar cinta

/14/
Terimakasih
aku, kau, kunang-kunang
yang telah pergi




Jumat, 14 November 2014

Cermin, cerau, dan cerita tentang senja

Kuceritakan kisahku tentang cerau air mata, tentang cermin masalalu dan aku yang senja.

/1/
Terlihat seorang lelaki di dalam cermin
menyusuri jalan yang keabu-abuan dengan lampu-lampu yang baru dinyalai penduduk
Dan nampak langit kuning kemerah-merahan
pun angin dengan genit sedikit membelai tidurnya pepohonan
Hingga ia terhenti di suatu kedai kopi
dan memarkirkan segala letihnya.

/2/
Lalu ia memasuki kedai dengan jalannya yang perlahan
tercium aroma kopi yang bersahabat dengan penciumannya
Dari jauh; terdengar ketukan jari-jari tangan
seperti ketukan sebuah penantian--juga panggilan.
Sedang duduk seorang perempuan murung, dengan mata yang menemui suatu yang dicintainya
lalu diurungnya sebuah murung
bahagia melihat yang datang. Kekasihnya, senja.
.

NB: Telah kumainkan piano dengan nada dasar A minor pada diamku di depan cermin, hingga terlihat segala kisah manis, dan selamat, kau berhasil membuatku ingin pulang pada pelukmu.


_______

Gubuk tua, 14 November 2014

Selasa, 11 November 2014

Tunggu saja

di batas kota, kita ialah sepasang yang di tengah garis
lalu kita merekatkan pelukan dengan manis
sunyi, hanya suara napas kita yang bergantian
mencipta eufoni, dari rindu kita yang komponis

di perpisahan kali ini
kau dan aku bak lilin
lilin yang tak pernah mau mati
namun harus

sebentar lagi, ketika peluk bertambah erat,
ada yang diobituarikan--yaitu kebersamaan,
namun tidak pada detik di arloji yang tetap hidup
membuat detak di hati kian degup

barangkali..

 "di perpisahan kita yang ke entah
decit bulbul seperti berubah menjadi harpist pengiring kematian" katamu.

dan kataku, tak apa,
biarkan dan ikhlaskan.

sampai nanti kita kembali lagi
kita coba menjadi Tuhan
kita hidupkan kembali kebersamaan

dan tunggu saja,
dalam pertemuan selanjutnya
kita kembali satu meja
menyesap kopi dari cangkir masing-masing
yang membuat nada
hingga terdengar seperti eufoni paling dahsyat,
sambil membaca puisi-puisi dari penyair hebat

dan mana sajak yang kau pilih?
kalau aku ini saja..
Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”milik Joko Pinurbo.



Senin, 10 November 2014

Jika


"barangkali, hujan ialah penyembuh segala yang patah, seperti obat hati." katamu.
jika memang sesederhana itu, aku ingin menjadi hujan.

aku ingin menjadi penyembuh
aku ingin menyetubuhi luka-lukamu yang sudah busik

seperti katamu lagi, kau merindukan masa kecil
di mana kau menari di bawah rinai
dicumbu oleh gemercik

dan dirimu yang merindukan 7 warna bianglala yang tak pernah kusetujui sebanyak itu warnanya
bagiku pelangi itu kamu, 2 warna
hitam putih tak lebih, baik dan buruk

jika nanti aku jadi hujan
teruskanlah menghitungku, sebab, bahagiamu selalu ada dari cara sederhana,
seperti menghitung hujan.

jika nanti aku jadi hujan,
kucumbui kau ribuan kali, kali ini tiada ketergesa-gesaan
kan kulihat gigil kesetiaan

 jika nanti aku jadi hujan
aku akan menjadi hujan yang hanya turun di atas kepalamu
jangan cari tempat berteduh!
sebab aku mengikuti ke mana pun kau pergi

dan jika nanti aku jadi hujan
dan jika aku telah berhenti
jadikanlah kemarau kekasihmu
mengeringkan tubuhmu yang telah basah

dan jika boleh, aku ingin menjadi kemarau juga..
aku ingin rakus menyayangimu. memperhatikanmu. mempedulikanmu.
sesederhana itu.

______

Gubuk tua, 10 november 2014

Jumat, 07 November 2014

Suatu tempat yang dituju


1/
saat itu ia berjalan ke pepohonan
mendengar kabar bahwa tak lama mereka akan mati, oleh gergaji
oleh manusia-manusia serakah
oleh pengecut berjiwa pongah
ia berjalan lagi terhenti pada sungai
mendengar kabar bahwa tak lama akan tercemar, oleh sampah
oleh mereka yang katanya pintar
yang nyatanya tak pernah sadar


2/
ia meneruskan jalan dan terhenti pada jiwa-jiwa kelaparan
yang penuh luka-luka, merah hitam
yang tabah lukanya digerimingi kawanan lalat,
berdarah! dari basah hingga kering sendiri
ia teruskan perjalanan
tak pernah berhenti, tak pernah minum
sampai kaki telanjangnya berdarah
sebab perjalanan yang teramat jauh

3/
ia melihat seorang ibu menangis
menutup erat gendang telinganya
seperti ada gemuruh, halilintar yang menggelegar
mendengar tangis bayinya yang gagu kelaparan


4/
sampai dia yang adalah aku benar-benar terhenti
padamu yang semesta
sampai dia yang adalah aku tiba
pada tempat yang dituju;
yaitu matamu yang semesta, tempat aku meringkuk
istirahat dari realita alam di duniaku
sebab di realita, pesakitan bukan berita baru
maka izinkan aku sekedar berlama-lama di bola matamu

 ________

Gubuk tua, 7 november 2014.