Kamis, 27 Februari 2014

Senja yang padam

Dia rapuh, namun tangisnya kini mulai ada jeda. Dia bersimpuh, pasir putih menjadi alas --pun angin mengundangnya pulas.

Dia berbaring, membiarkan air mata turun hingga mengering. Dia sesenggukan, membiarkan tangis menyerupai spasi, berirama bergantian.

Kala itu, sore ketika senja ingin berpamitan, dia tak ikhlas melepas. Genggaman masih dieratkan, tatapan jauh kosong menatap jingga yang mulai kehitaman. Separuh badannya mulai menghitam, separuhnya lagi masih terang terkena cahaya. Ia tetap terjaga di beranda senja, lalu perlahan ia melepas genggaman.

Lalu senja meyakinkan, "Berbaringlah, tidur yang nyenyak. Esok, aku datang sesuai janjiku pada semesta. Silakan esok kau puas-puaskan, sibaklah abu-abu langit, carilah aku, maka aku akan mengeluarkan jingga beserta ronaNya"

Dihapuslah air mata, ia terbangun, dan dia berkata "Sampai jumpa". Kemudian ia tergulung bersama kekasihnya, senja.

Selasa, 25 Februari 2014

Luangkan waktu.

Hai, Rara.

Sebelumnya, aku sudah membaca surat yang kau kirim untukku, terimakasih. Itu indah sekali.

Kalau kamu masih takut memanggilku dengan sebutan 'Kawan', tolong untuk detik ini cepat hapus ketakutan itu. Aku juga ingin berteman denganmu, bahkan lebih. Kita bisa menyebutnya; Sahabat.

Kalau ada kesempatan, bolehlah kita bermain, kita sama-sama tercebur ke dalam kopi kita masing-masing. Berenang hingga permukaan paling dalam dan berlomba menahan nafas di kedalaman. Pemenangnya berhak mendapat kopi gratis. Gimana, mau? Mudah-mudahan kita ada umur panjang semata untuk bersua.

Oh iya, header twitter ku itu bukan Paul McCartney, Tapi George Harrisson. Selamat anda telah tertipu. Yak, wajah mereka berdua memang agak mirip. Hehe.

Tertanda,
Seseorang yang mau berbagi meja untuk meminum kopi bersama.

Sabtu, 22 Februari 2014

Happy birthday @BaembyPrasetyo

Maaf jika bukan yang pertama yang mengucapkan. Aku tahu pasti banyak orang yang sayang padamu yang mengucapkannya terlebih dulu. Bro, happy birthday. Selamat bertambah dewasa, semoga apa yang diinginkan lekas tercapai. Bukankah itukan yang kau inginkan, hmm aku kira juga begitu.

Tepat tanggal 21 februari kemarin, niatnya aku mau menjadi orang pertama yang mau megucapkan. Namun, aku takut salah, bukankah seseorang lahir tak selalu selepas jam 12 malam? Lantas, mengapa aku sibuk mengucap selamat ulang tahun saat jarum pendek berada di angka 12, saat jarum panjang tepat di angka 12, saat jarum detik sedikit melewati angka 12? Dan saat itu aku berpikir, pasti banyak yang mengucapkannya terlebih dahulu, apalagi kau terkenal dengan ke-playboyannya. Mereka pasti berlomba-lomba menjadi orang yang menyandang predikat sebagai orang yang mengucapimu terlebih dahulu, maka jika mengucap pertama aku tidak bisa, aku putuskan untuk menjadi yang terakhir. Bukan kah yang terakhir itu suatu yang indah? Memang, yang terakhir itu yang indah layaknya cinta, bukan? Hehe.

Sudahkah kau menerima hadiah dariku, sobat?

Ya, bingkisan itu kubuat serapih mungkin, pita merah menambah kecantikannya, isi yang berat juga menjadi suatu yang meyakinkan bahwa itu hadiah yang spesial.

Kau tahu? Bingkisan itu kubuat dari kerdus, kerdus yang terbuat dari sebuah harap, pita merah yang kudapat dari sebuah ikhlas, pun isi berat itu adalah seindah-indahnya hadiah, bukalah isinya, di situ kau dapat menemukan berbagai macam doa, dari saudara, teman, sahabat dan orang tua. Selamat ulang tahun, semoga bahagia terus bersamamu.

Cepat pulang, kami rindu.

Tertanda,
Sahabatmu.

Kamis, 20 Februari 2014

Untuk perempuan yang hatinya di surga

Apa kabar adik yang berada di Surga?

Aku ingin bertanya, apakah salah satu doaku menyangkut di sana? Doa yang kulantunkan setiap hari, menghamba pada Tuhan, meneteskan air mata ketulusan, menyisipkan suatu harapan agar doa dapat berkenan. Aku harap doaku sampai.

Dik.

Aku rindu, semua rindu, baik-baik di sana, jangan nakal. Teruntuk adik yang hatinya di Surga, terimakasih telah membaca surat ini yang kubalut lewat doa. Untukmu Naifa Maulydina.

Tertanda, Om mu yang kesal dipanggil Om.


Rabu, 19 Februari 2014

Terimakasih, Pak.

Bayaran sekolah makin mahal. Uang bayaran menunggak berbulan-bulan. Tak ada jalan lain, ku rayu kepala sekolah dengan isi dalam rok ku. Ia menganggut dan tiba-tiba tunggakan bayaran lunas. Aku tenang, tak ada hutang.

"Yaudah, kamu keluar. Besok kamu masih hutang beberapa ronde lagi", Begitu katamu.

"Iya, pak" Tegasku.

Senin, 17 Februari 2014

Dasar cengeng

Sore itu terlihat indah, senja mulai terlihat ronanya. Sebagian langit masih abu-abu dan aku berusaha menyibak demi mendapati jingganya. Alih-alih kepala, melihat sekitar, mataku tertuju pada seorang pria, masih terpampang jelas bayangnya ketika sore di stasiun kota. Ia itu dirimu. Saat itu kau sedang duduk asik dengan rokok di tangan kiri, juga koran yang dipegang dengan kedua tangan. Matamu besar, bola matamu kian begantian ke kiri dan ke kanan, kau asik membaca.

Mataku masih terjaga, kuhampiri dirimu semata ingin mendapat lawan bicara.

Hai.

Kataku saat itu, dan kamu membalas salam ku dengan ramah. Nada suaranya besar, kurasa pas untuk badan yang dua kali lipat denganku, aku berani menerka bahwa tinggimu 180 dan berat badanmu 70. Kau gagah, tegak seperti tentara.

"Namamu siapa? Kau mau kemana?" Tanyaku. "Aku Alex mas. Aku ingin menemui kekasihku, terakhir, aku membuatnya menangis dan kini aku mau meminta maaf" Jawabmu.

Seketika hening terjadi, aku mendapati ada Obituari di koran yang kau pegang, "Seorang ibu mati tersengat listrik" Begitu kiranya isi dari koran tersebut. Dengan nada yang tak keras dan tak lemah, kau mendengar aku membaca.

"Kau mau membaca koranku, Mas?" Tawaranmu. "Oh tidak, tadi aku tak sengaja melihat berita kematian seorang ibu". "Mana?", "Itu ada di halaman belakang".

Dan saat itu kau membalikkan koran, melihat dengan seksama, seketika matamu berkaca, Benda yang berukuran buah pinang sesekali naik turun di lehermu. Koran terjatuh dan tak lama jauh tertiup deru angin.

"Kau kenapa, Lex? Mengapa menangis?" Tanyaku. "Ibu tadi, ialah Ibuku mas" Jawabmu. "aku turut berduka, Lex. Lalu, kau mau apa setelah mendengar berita tadi?", "Aku ingin pulang", "Lalu kekasihmu?", "Maukah kau membantuku?, tolong kau kerumahnya, sampaikan permintaan maafku, kabari juga bahwa ibuku telah tiada", "Ngg.. tapi Lex", "Anggap saja ini permintaanku atas perkenalan kita". Dengan berat hati aku mengiyakan.

Satu haripun berlalu, jika boleh aku mau menitip salam pada ibumu di surga, dan aku ingin berkata, wanitamu sungguh cantik, pantas kau ingin sekali mendapatkan maafnya. Dan taukah kau, Lex? Katanya, dia sudah lama memaafkanmu.

Oiya, kapan-kapan aku akan mengunjungi mu. Aku ingin berbisik di kupingmu. "Dasar cengeng. Badan saja besar, ternyata hobi menangis di depan wanita". Haha, pasti sekarang ada wanitamu disana. Silakan cubit pipinya, sebab ia yang menceritakan itu semua.

Tertanda,
Seorang teman ngobrol di stasiun kota.

Minggu, 16 Februari 2014

Nocturnal

Malam semakin terlihat gulitanya, hitam dan kelam seakan menemani kesendirian sang berandal malam yang jekpot di pinggir jalan. Dingin, gigil tubuhmu saat itu dibalut angin malam yang jahat, hanya perisai yang kau sebut jaket yang sekadar menjadi penghangat.

Satu..dua..tiga kali muntahan kau keluarkan di trotoar, kau tertawa seraya tak gentar, maju sempoyongan kau terus berjalan, melawan benci demi harapan. Satu-persatu musuh telah terbunuh oleh botol yang kau tenggak tadi, dan satu-persatu musuh kembali, setelah efek minuman tadi pergi.

Botol minum kau jadikan teman, setiap malam kau hidangkan. Lebam pipi bekas perkelahian tak kau pikirkan, malah kau anggap sebagai dandanan. Sampai kapan kau bertahan, kawan? Di bawah langit terus menjerit, di atas bumi kau terhimpit? Sampai kapan kau tertidur atau memang setengah tidur? Bangunlah, tampar diri hadapi mentari.


Meski doa selalu kau lantunkan agar bulan memayungi diri, agar bintang menjadi penerang bagi dirimu yang malang.  Namun pagi tetap datang sesuai janjinya, membawa surya menghangatkan jiwa.

Bangun, matikan rokok, ganti asap yang mengendap dalam paru dengan rejeki pagi agar tak beku.


Tuan, sadarlah. Mengapa kau beli lentera untuk menerangkan malam mu yang kelam, sedang mentari pagi lebih terlihat jelas pancarannya? Mengapa kau keluar saat gelap mengurung diri, sedang kau bisa terlelap dan bermimpi?



Tuan, aku adalah seorang yang melihatmu tadi malam, di bangku terminal kau kedinginan. Biarlah dulu surat ini tak kusampaikan, kutahan dalam benak yang nanti akan beranak, semoga salah satu dari anak surat ini ada yang berani menghampiri sekaligus menampar dan membangunkan Berandal malam di bangku terminal.


Tertanda,
Pemuda yang menyiram bekas muntahmu.


Sabtu, 15 Februari 2014

Untuk Ibu yang ada di Bumi

Hai, Bu. Gimana kabarmu? Sehatkah?

Kali ini aku mau berbincang banyak padamu. Aku rindu, Bu. Bagaimana keadaan di Bumi? Masih banyak orang jahat, kah? Hmm, tapi aku tidak perlu khawatir, tentu kau bisa menjaga diri sebaik mungkin.

Disini, aku terkenal sebagai seorang yang banyak sekali bertanya, Bu. Dimulai dari pertanyaanku pada Bos besar.

Seperti ini pertanyaanku:

"Bos, kenapa seseorang bisa mempunyai anak?", lalu Bos besar menjawab dengan ramah, ia menjawab "Karna dia melakukan hubungan badan, dan tentunya ada cinta diantara mereka berdua"

Lalu aku bertanya kembali.

"Berarti, Ayah dan Ibuku saling mencinta?", Bos besar lalu menjawab, "Tentu, tentu mereka saling cinta"

"Tapi, apakah mereka mencintaiku?", Bos besar masih sabar dan mau menjawab, "Mereka mencintaimu, sungguh"

Tapi aku bingung, kalau sayang kenapa kau memperlakukanku dengan tidak baik, seperti kau yang mengizinkan seseorang yang saat itu kau sebut dokter, untuk memasukan mainan ketika aku berada di perutmu. Aku suka dengan mainannya, ia bisa berputar, namun ketika aku ingin meraihnya --ia berbalik menyerangku. Ku kira itu blender mainan, tetapi kenapa ia menyakitiku? Sakit bu.

Lalu, orang yang kau sebut dokter itu kembali memberiku mainan. Tapi, kini aku lebih berhati-hati, sebab sudah ada organ tubuhku yang berdarah akibat mainan tadi. Kali ini aku suka dengan mainan barunya, seperti gunting. Aku pikir, pasti Ibu ingin bermain salon-salonan padaku. Maka dengan siap aku menunduk untuk dipotong rambut tebalku. Tapi, seketika aku terheran, kenapa yang dipotong bukan rambutku melainkan leherku. Sakit kali ini lebih hebat, leherku menggelayut saat itu juga, darah terkucur dengan hebatnya. Sakit Bu.

Lalu, aku mendengar perbincangan kau dengan Ayah, "Yah, mamah sakit yah.", lalu ayah menjawab "Sudahalah, tahan saja sakitnya, Mah. Memang kau mau dimarahi orang tua kita sebab melakukan hubungan diluar nikah. Sudahlah musnahkan saja anak ini". Sungguh aku menangis saat itu. "Apa salahku?"

Lalu dokter itu kembali memasukan mainan. Namun, kali ini aku tidak mau tertipu, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, apalah daya aku tidak bisa menghindar, aku sudah lemas, darahku sudah habis, saat itu juga ada sesuatu, Bos besar bilang itu adalah Malaikat. Ia berkata, "Ayo ikut aku ke surga"

Aku bingung, "surga itu tempat apa? Apakah ada banyak mainan di sana?" Tanyaku pada Malaikat. "Tentu banyak, bahkan banyak sekali". "Tapi aku tidak mau seperti mainan yang Ibuku berikan tadi",  "Tidak, tidak ada mainan seperti itu di surga", "Baiklah kalau begitu".

Kini aku sudah berada di surga, Bu. Di sini indah sekali, tak ada orang-orang tua di sini. Semua orang muda-muda sekali di sini. Aku ingin nanti kau juga menyusulku di sini. Kita senang-senang di sini.

lalu aku bertanya satu hal lagi pada Bos besar, "Bos, apakah Ibu dan Ayah bisa masuk surga sepertiku?", ia menjawab "Tentu, jika mereka bertaubat".

Aku tidak berpikiran kalau kau itu jahat, karna menurutku tidak ada orang yang terlahir jahat. Mereka jahat karna keadaan yang memaksa dia jahat. Aku tidak dendam padamu, Bu. Aku juga tidak dendam pada Ayah. Sungguh, inni uhibbuka fillah.

Maka aku pinta dengan sangat, bertaubatlah, ajak Ayah juga. Terimakasih.


Tertanda,
Buah hatimu yang menunggumu di Surga.


Kamis, 13 Februari 2014

Ada bulan di cangkir kopimu





Tak ada yang lebih dulu dari sajak; kecuali nafsu jari pembuat kopi yang segera beranjak. Juga tak ada yang dijanjikan pagi kecuali hangat surya dan wangi yang terbit dari secangkir kopi.

Nona.

Aku adalah secangkir kopi yang biasa kau seduh pada pagi --pun ketika senja mulai tergulung sepi. Membuka lebar telinga mendengar keluh lewat tangis yang kau jadikan arti. Setetes tangis yang keluar akibat perasaan hati yang membuncah kian tumpah pada wadah secangkir kopi yang tabah.
Aku adalah secangkir kopi yang kau buat dengan penuh cinta. Terimakasih atas kerjasamanya, berusaha pertahankan panas walau sang dingin mengurung kita.




Teringat pada hobimu. Duduk dibawah pohon besar dengan murung serta aku sebagai pelengkapnya.
Sesekali kau teguk diriku dalam jeda tangismu, dan pada saat itu juga bibir kita bersentuhan dan diriku yang penasaran. Kalau boleh bertanya, kenapa selalu ada tangisan?

Sesekali juga kau berkaca pada diriku, meneteskan rinai hujan membuat sungai, kopi yang kau buat nikmat kini berubah tak lagi hangat, sebab kopi kian teraduk pada tangis yang kian melekat. Kalau boleh bertanya, kapan tangismu tamat?

Nona, aku akan bercerita suatu kisah padamu. Dulu juga aku seorang yang murung. Dulu, aku adalah seorang kopi yang manis, tapi semua berubah ketika tuan yang angkuh iri melihat aku bermesraan dengan gula. Gula itu pacarku, dia baik, dia cantik, sama sepertimu. Lalu aku penasaran kenapa si tuan memisahkan kita? Lalu si gula menjawab "Tuan dimarahi ibunya, sebab ia tidak boleh lagi dengan yang manis-manis"

Lalu, aku berpisah dengan gula, dan kini aku bertemu lagi dengannya lewat dirimu. Sebelumnya, terimakasih telah mempertemukan ku lagi dengan gula. Apakah kisahmu sama denganku? Apakah kau murung sebab adanya suatu pisah? Tenang saja nona, jika jodoh takan lari kemana.

Nona, apakah kau tahu? Ketika adanya suatu kesedihan, rupanya ada suatu kebahagiaan yang terselip, dan bahkan kerap kali kita tidak mengetahuinya. Disaat kau berkaca pada diriku, ada suatu keindahan yang mutlak namun samar untuk kau lihat. Adalah bulan yang tercebur kedalam matamu. Itu yang membuat hariku tidak murung lagi ketika melihat kau berkaca padaku.

Aku tahu, sedihmu akan segera tuntas, maka tuntaskanlah. Jangan biar ia mengendap lama-lama. Cukup hangat ku saja yang kian mengendap pada kerongkonganmu, itu.

Sebelumnya, aku ada pesan untukmu. Berhenti konsumsi yang manis. Sekarang aku mengerti, lebih baik kau minum yang tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pahit. Sebab, aku tidak ingin kamu dimarahi ibumu seperti tuanku dulu yang dimarahi ibunya yang menyebabkan aku dan gula pisah. Bukan aku egois, itu semua karna kepentinganmu. Karna aku menyayangimu.

Tertanda,
Secangkir kopi hitam.

Rabu, 12 Februari 2014

Rindu pulang.

Banyak bintang yang ku-kantungi dalam kelopak mata yang sendu, pun bulan yang sengaja ku ikat erat pada pergelangan kaki, juga angin yang berusaha ku jaring sembari menari. Malam ini. Sepi.

Bagaimana kabarmu, duhai perempuan yang tak pernah mengeluh dihadapanku?

Menciptakan bayangmu adalah perihal kedamaian, setidaknya membuatku merasa lebih ramai. Namun, itu semua membuat ingatan terpacu pada satu paras, wajah cantik yang kian menua. Tak bisa dipungkiri, waktu kian berlari namun kau tetap berdiri tegak, ikhlas membiarkan waktu menggerogoti usia. Terpampang jelas garis di jidatmu, juga kantung mata yang mulai mengendur sepengheliatanku saat itu. Serta doa yang kau ucap dalam balutan mukenah di atas sajadah tua mu. Aku rindu mendengar namaku disebutkan diantara banyaknya doa yang kau lantunkan, juga rindu yang kian membuncah ingin sekali lagi bersembunyi di balik ketiakmu ketika masalah dengan sombongnya menakut-nakutiku.


Hmm.. oiya. Mantal hasil tenun mu masih ku jaga rapih-rapih, begitu hangat saat kupakai. Mantal yang terbuat dari kucur keringatmu, teguh yang menjelma menjadi jarum, serta rambut putihmu yang kau jadikan benang. Sungguh benar-benar membuatku nyaman. Seraya mendapat pelukan dari jarak bermilyaran jejak. Mungkin mantal pemberianmu ini adalah sebuah perantara simbol cinta. Terimakasih.

Maafkan aku jika lisan selalu terbata mengucap kata sayang dihadapanmu --entah, mulut kian tertekuk saat kalimat ingin keluar, biarlah kata menyiapkan dirinya --mencari celah terhadap kegengsiannya; memberanikan diri pada keraguannya.

Biarlah dulu surat ini kusimpan rapi-rapi dalam peti hati. Sampai nanti aku pulang, membusungkan dada dan memberanikan diri, mengepak sayap mengeluarkan keris dari wangkara, membunuh satu-satu gengsi yang mengabdi pada hati.

Aku; Ingin mengecup keningmu, seraya berkata "aku sayang ibu". Kembali pada sebenar-benarnya rumah tempat bersinggah, yaitu pelukan.



Tertanda,
Bocah kecilmu yang rindu pulang.

Selasa, 11 Februari 2014

Semoga kita dipertemukan (Lagi)



Untuk wanita yang membantu memegang bendera bersama ibunya.

Saat itu, tepat setahun lalu. Aku pulang sehabis menghadiri perayaan ulang tahun Slank yang ke 29 di stadion kridosono yang bertepat di Yogyakarta, aku berjalan tidak sendirian, banyak Slankers yang juga keluar dari stadion, seraya semut yang keluar dari sarangnya yang dibongkar. Ribuan Slankers memadati Yogyakarta saat itu. Ada yang memilih tetap tinggal di dalam stadion semata ingin menginap sampai pagi tiba, ada yang memilih jalan-jalan untuk menikmati kuliner Yogyakarta. Berbeda dengan aku yang ingin cepat pulang ke rumah teman yang kalo tidak salah nama daerahnya itu Palagan. Tapi, saat itu langkah aku dan ke lima temanku terhenti di sebuah tugu, benda yang menjulang tinggi berwarna keemasan lambang Yogyakarta itu.

Saat itu Yogyakarta cukup ramai. Banyak pemuda yang asyik menyeruput kopi dipinggir jalan. Banyak yang berlalu lalang melewati tugu, dengan tatapan sinis mereka semua melihat kearah kami, entah apa yang ada di pikiran mereka melihat sekawanan Slankers berfoto ria di depan tugu Yogya. Unik atau norak? ah terserah mereka berkata apa.

Saat itu kalian asyik berkendara dengan mio putih ber-Plat AB. Tentu, dengan kode plat itu aku yakin kalau kalian itu warga Yogyakarta. Kalian berhenti, menatap kearah kami. Lalu kalian bilang, "Mas, boleh foto bareng. Kalian unik. Aku juga ngefans sama Slank". Dengan ramah aku menjawab, "Oh yaudah mbak, mari sini kita foto bareng".


Kini sudah satu tahun terlewati. Bagaimana kabarmu mbak? Aku harap baik-baik saja ya. Oh iya, entah kenapa, Yogya itu memiliki daya tarik tersendiri, yang membuat siapa saja yang pernah kesana ingin kembali. Kalau nanti aku kesana, semoga kita bisa bertemu lagi yak? Aamiin.

Oh iya dapat salam dari kedua temanku, yang di sebelah kiri itu Wahyu, yang di sebelah kanan itu Rafly, kalau aku sendiri Rizki yang berada ditengah memakai baju putih. Hehe

Semoga kelak kita dipertemukan lagi, bukan sekadar foto-foto. Mungkin kita bisa berbincang sambil menyeruput kopi. Eh tapi jangan bawa ibumu yak, biar aku lancar gombalnya. Hehe.


Tertanda,
Seorang yang juga senang berfoto denganmu.

Senin, 10 Februari 2014

Bro, cepat pulang.

Kepada,

Lelaki yang perkataannya dapat membangunkan.


Kini aku sedang memancing ingatan, seperti apa perkenalan kita waktu itu. Sungguh, itu sudah terlalu lama untuk diingat, intinya, kita cepat bersahabat.

Bagaimana kabarmu?

Mungkin aku terlalu cepat menyuratimu. Baru kemarin kau pulang, dan kini aku sudah mengirimimu surat. Maklum, rindu.

Oh iya, aku sedikit mau memancing ingatanmu. Ingatkah kau?

Ingatkah janjimu yang pernah terucap bahwa kau harus menjadi seorang yang sukses kelak?

Ingatkah dengan perkataanmu jika kau sukses nanti akan membeli penghinaan mereka yang telah menghina dengan senyum kesuksesanmu?

Ingatkah dengan janjimu bahwa kau harus kembali dengan membawa teman baru yang kau sebut; Kesuksesan?

Aku dengar jelas janjimu waktu itu, aku taruh rapih-rapih dalam celengan hati. Yang akan marah besar jika ada satu janjimu yang tak kau tepati. maka jangan segan kalau kau pulang tanpa membawa hasil, bogem mentahku mendarat di ulu hatimu. Tunggu saja.

Saat menulis surat ini, aku lagi berada dirumah kakak. Aku pikir, dirumah terlalu berisik, terlalu ramai, aku takut mereka melihatku menangis saat menulis surat ini.

Tapi, ada pepatah yang mengatakan "Sepandai-pandainya kau menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium juga", dan ternyata itu benar, aku mempunyai peribahasa baru "Sepandai-pandainya kau memendam tangisan, maka akan meledak pada waktunya".Boleh aku meminjam tisu? Laptop ku basah, sobat. Hehe

Masih teringat jelas hari kemarin, tepat aku mengantarmu ke terminal jatibening. Kau harus balik bekerja lagi, melawan semua getir kehidupan. Meninggalkan satu rasa yang sama, aku menyebutnya; Kerinduan.

Lalu, aku bertanya "Kapan pulang?", trus kau menjawab "Satu bulan lagi". Oh Tuhan, sebulan itu bukan waktu yang sebentar. Yasudah kalau begitu. Aku hanya bisa mendoakan. Semoga kau baik-baik disana. Disini semua rindu kepulanganmu. Terutama keluargamu.

Semoga kau kembali, dan tidak dengan sengaja melupakan sebuah pulang..

Tertanda,
Seorang sahabat yang terakhir kali memberi jabat tangan di terminal.

Minggu, 09 Februari 2014

Beri aku satu nama

Untuk wanita yang belum ku tahu nama nya.

Teringat jelas hujan sore itu, kau nampak sedang berteduh di satu toko yang kebetulan sedang tutup. Pandanganmu fokus pada tanah yang dibawah, tanganmu sedikit gigil. Terlintas pertanyaan dalam benakku saat itu, "Kenapa yaa dia?". Kau terlihat cantik saat itu, memakai kaus polos, dengan celana jeans yang sedikit robek, juga rambutmu yang dikuncir satu. Kau begitu sederhana, aku suka.

Bodohnya, aku tidak ada keberanian untuk menghampirimu, sekedar menjadikanmu teman ngobrol. Keadaan saat membingungkan waktu itu, seraya ada dua orang kembar dibahuku, yang disebelah kiri berupa bayanganku sendiri, namun terlihat sangat culun, ia bilang "Tidak, aku takut". Dan di bahu kananku ada bayangan berupa jagoan, ia bilang "Ayodong, temui dia sekedar bertanya siapakah namanya". Hampir lama mereka berdua berdebat, namun alih-alih bahu kiriku lah pemenangnya. Mungkin kau terlalu indah, sampai-sampai aku tidak berani menghampirimu.

Sangat disayangkan, hujan berhenti begitu cepatnya. Seolah langit tak merestui kedekatan kita. Kau dengan sigap kembali lagi ke sepedamu, kau tunggangi dengan anggun, jelas terlihat bodi ramping dari belakang, lengan baju yang sedikit kau lipat memberiku celah melihat mulus pangkal lenganmu, sungguh indah tanpa polesan. Bergantian kakimu mengayuh, satu persatu mulai menjauh, dag..dig..dug bergetar hatiku melihat liuk bokong besarmu. Kini kau jauh memunggungi, tanpa meninggalkan nama.

Andai ada pertemuan kedua. Pasti aku berusaha untuk menginjak-nginjak rasa takutku dan segera berkata. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Sabtu, 08 Februari 2014

Surat untuk badut - badut serakah.



"aaakkk, giliran ku sedikit lagi"

"Hey kakek, berisik sekali kamu, bisa diam gak? aku sedang asyik menggerogotimu"

"Diam? Enteng sekali bicaramu, aku takut, yap."

"Ahh, badan saja kau besar, rambutmu tebal, batangmu keras, serta jari-jari yang kuat. Tapi kau punya rasa takut juga? Dasar cemen"

"Lihat badut-badut itu, asyik dengan mesin pemotongnya, tertawa ia tanpa ada rasa tanggung jawab, jelas aku takut, begitu juga mereka saudara ku. Memangnya kamu yang hanya asyik memakan kami tanpa ada perasaan iba."

"Ah dasar, baiklah, aku akan membantumu, apa saja yang kamu mau, sebutkanlah"

"Hmm, kau yakin? Baiklah. Tolong tulis satu surat dibadan ku, tulis untuk mereka dan mesin pemotongnya yang serakah itu. Ayo mari, pahatlah wahai rayap yang menyebalkan"

"Baiklah"

Hey, bangsat. Aku sengaja memanggil kalian badut. Perut kalian besar, isinya pasti tangisan saudara-saudaraku. Dasar kalian picik, berjuang hidup walau harus menyusahkan kami, demi kantong pribadi kalian masing-masing. Taukah kalian kalau kami pusing? mendengar gergaji mesin yang tak pernah berhenti? Tega kah kalian mendengar rimba menjerit? mungkin nasibku tidak akan selamat. Aku ikhlas. Tapi aku takut setelah ini, bencana banjir selalu datang menghantui. Sedang kalian asyik berpesta dengan duit haram kalian sendiri. Hanya satu pesanku, bertaubatlah


"Sudah, aku sudah menulisnya sesuai dengan yang kau pinta, sekarang memejamlah. Dikit lagi giliranmu, maafkan kesalahan-kesalahanku. Walau bagaimanapun juga, aku mencintaimu. Selamat jalan"

"Terimakasih, Rayap. Walau kau begitu menyebalkan, Tapi kau sangat baik. Lalu kau mau apa setelah ini?"

"Aku mau memarahi badut-badut serakah itu, aku mau meluapkan semua emosiku padanya"

"Baiklah kalau begitu, tapi hati-hati, anak-anakku, adikku, serta saudaraku mati ketika ingin memarahinya untuk melindungiku. Aku harap itu tidak terjadi padamu. Sungguh, aku menyayangimu, sahabat."

"Tenang saja, walaupun harus mati, itu sudah suatu yang impas dengan apa yang selama ini telah kau berikan padaku. Baiklah, aku ke medan perang dulu"

Kamis, 06 Februari 2014

Bocah yang kuanggap Bapak.


Teruntuk lelaki yang pemberani.

Kau ingat percakapan singkat kita waktu itu? Sebelumnya, saat itu aku sedang melakukan perjalanan menuju rumah kekasihku, Clara namanya. Nama yang cukup sederhana untuk wanita yang sangat istimewa. Perjalanan ku dimulai saat matahari terik-teriknya. Saat itu ramai penduduk kota bertebaran dijalan, lalu lalang kendaraan membuat asap polusi tak terkendali, yang menyebabkan pepohonan ingin memuntahkan mual dengan segera, pada saat itu aku sedang asyik menyeruput kopi di warung yang tak begitu mewah, cukup nikmat kopi yang ku minum saat itu, mungkin karna semangat ingin kerumah sang kekasih.

Teralih kepala saat itu. Tak sengaja aku melihatmu sedang asyik duduk di koridor jalan raya, sembari jari tangan menghitung beberapa uang ribuan, dan tak sedikit kulihat banyak uang logaman. Aku salut, pandai sekali kau mencari uang pada umur yang kubilang bukan saatnya kau mencari uang.

Karna sangat penasaran dan terkesan, kupanggil dan kau menghampiri. Ingatkah kau saat itu, kawan? kuharap kau ingat, ya. Dengan menaruh uang pendapatan ke saku celanamu, sambil menenteng gitar yang kubilang sangat mungil, kau menyebutnya itu ukulele, kau menghampiriku dengan cepat. Tak bagus rupa ukulele itu, banyak bagian cat yang terkelupas oleh panasnya sang raja siang, aku rasa.. kulitmu juga ikut terbakar bersamaan dengan gitar mungilmu itu, bedanya.. sakitmu tak terlihat.

"Siapa namamu?" tanyaku saat itu. "Budi mas" Kau menjawabnya dengan sangat sopan. "Kamu tidak sekolah, inikan masih jam sekolah?", tanyaku dengan segala rasa penasaran. "Oh, tidak mas. Kedua adikku yang saat ini sedang sekolah. Aku, tidak. Aku kan bapaknya. Tapi sayang, ibu mereka ibuku juga. Haha" Saat itu kau malah melawak. "Aku serius, Bud" Tegasku. "Loh aku lebih serius toh mas. Bapakku dipenjara, saat itu ia ketahuan masa sedang mencuri TV milik warga, yang kebetulan tetanggaku juga. Buat makan kami katanya" Katamu sambil tertawa. "Lalu kenapa kau tidak mencuri seperti bapakkmu? haha" aku meledek. "Woalah, ndak mas. Masa aku mau ikuti jejak bapak. Emoh aku." Katamu.

Saat aku menulis surat ini, aku sedang asik bercerita perjalan hidupmu pada kekasihku. Ku hebat-hebatkan kamu dimatanya. Aku bilang, aku bangga bertemu denganmu. Aku bangga bertemu gitar yang kau sebut ukulele itu, ukulele yang senarnya diciptakan dari tabah ibumu. ukulele yang leher dan bodinya tercipta dari keberanian bapakmu. ukulele yang sisa komponennya terbuat dari doa adik-adikmu. Dan secara kesatuan, Ukulele itu menjelma menjadi dirimu. Budi adalah Ukulele. Dan Ukulele adalah Budi. Sebab, separuh jiwamu ada pada benda mata pencarianmu itu.

Tau apa yang dibilang kekasihku tentangmu?, ia penasaran dan berkata "Lalu apa? bagaimana kelanjutannya?Aku melanjutkannya..

Lalu aku membangga-banggakanmu lagi. Aku bilang padanya, kamu menggantikan bapakmu sebagai kepala keluarga. Kaubilang, ibumu sudah renta dan kau tak tega melihatnya kerja. Lalu kau beranikan diri menampar kerasnya kehidupan, kau lipat rapi-rapi rasa ketakutan, kau lahap dengan tenang segala keragu-raguan. Kau turun kejalan semata ingin mendapatkan beberapa uang untuk keluarga makan, kau beralih dari angkutan umum satu ke angkutan umum yang lainnya. Kau sulap air matamu menjadi sebuah notasi, kau sulap isi hatimu menjadi lirik lagu, kau sulap sakit dihati menjadi pelipur lara, hatimu berteriak ikhlas, menyanyi tanpa malas, walau banyak yang sengaja menghiraukannya, bahkan ingin dirimu segera tuntas.

Aku tak tahu pasti apa yang kau rasakan, tapi batinku seolah mengerti. Bahwa apa yang kau rasakan, sama dengan apa yang kupikirkan.

Lalu, aku tahu. Mulutmu seakan mau menganga bilang "aku tak sanggup". Tapi rasa tanggung jawabmu segera cepat-cepat menusuk dan mengancam ingin memutuskan urat lehermu jika kau menyerah. Maka dengan respon cepat, kau menyanggupkan.

Lalu, aku tahu. Busik tangan dan kakimu pertanda, bahwa matahari sangat bersahabat pada keduanya. Tanpa manja kau mensyukurinya, tanpa memakai krim anti matahari pun kau tak apa-apa. Sungguh kau sangat menikmatinya.

Dan tahukah kau perkataan kekasihku setelah mendengar kisahmu, Bud?

Kekasihku bilang.. "Pertemukan aku dengan dia!!! aku ingin tahu lelaki kecil itu yang bisa membuat pacarku menangis ketika bercerita".Dia bilang seperti itu, Bud. Ia benar, aku menangis. Aku menangis menceritakan kisahmu kepadanya. Untuk seorang lelaki, sebenarnya aku malu menangisi seorang lelaki juga. Tapi, tidak untukmu, Bud.
Saat itu kau bilang, kau tidak bisa membaca. Dan aku berjanji akan mengirimkan surat ke alamat rumahmu. Dan aku bilang janganlah kau memohon orang lain untuk membacakannya. Sebab, aku ingin, kau bisa membaca surat ini tanpa bantuan. Sampai kau bisa membacanya sendiri, minimal mengeja surat ini.

Entah kapan surat ini kau baca. Atau kau terlalu sibuk untuk bekerja sehingga tak sempat membaca? Tak apa. Bertemu mu membuat aku merasa lebih bahagia. Sesederhana itu.

Bertemu mu mendapat sebuah pelajaran. Kadang, hidup ini terlalu bengis, tak adil, dan mau tidak mau kita siap menerima apapun penetapannya. Padahal tidak. Haruskah kita pasrah? tidak. Sebab kalau kita mau melawan, kita menang, karna dari lahir, kita ini bukan pecundang. Melawan jutaan sel sperma, dan lahirlah kita."


Dan yang paling aku ingat adalah, ketika kau bisikan kata-kata ke telinga ku, Bud:
"Kalau kalian bilang manusia itu berbeda kasta. Kalian salah. Lihat saat kita menjadi sperma. Semua sama, botak dan mempunyai buntut seperti kecebong. Dan mengertilah kalian, jangan sombong."
Sekian dari saya, Bud. Aku mengagumimu.


Tertanda,
Seorang yang pernah kau pinjamkan ukulele.

Rabu, 05 Februari 2014

Dialah perempuan itu; Ibu



Jelas terpampang didepan mata, wajah cantik nan jelita, hidungnya yang mancung, rambut bergelombang, (yang sengaja dihitamkan oleh pewarna rambut), pipinya yang merona, alisnya yang hitam menyala, juga bibirnya yang merah merekah, sedang asik duduk di meja riasnya.

"Bu.."

Ibuku masih terdiam, asik dengan gincu yang ditorehkan ke bibir tebalnya.

"Bu.." Ucapku lagi.

"Iya, kenapa nak?"

"Kau mau kemana, tetaplah dirumah. Siapa yang menjaga kedua adikku. Aku masih terlalu kecil untuk menjaganya, bu." Ucapku memohon agar ibu tak meninggalkan rumah.

"Ayolah nak, kamu kan sudah besar, sudah kelas 1 Sma, apalagi kamu lelaki, lagipula.. kalau ibu tidak bekerja, siapa yang membiayai sekolah kamu, juga adik kembarmu yang kebetulan masih duduk dibangku 5 sekolah dasar?, tau kenapa almarhum ayahmu memberimu nama Argani? Sebab, ia mau kelak anaknya menjadi pemberani. Sudah, dengar saja kata ibu, jangan jadi pengecut. Jaga adikmu baik-baik sampai ibu kembali pulang" Ibu memberi pengertian.

"Ngg.. tapi bu.. yasudahlah, baik bu" Akupun meng-iyakan.

Sudah dua minggu belakangan ini, aku mulai curiga sama apa yang dikerjakan ibu. Bagaimana bisa ibu meninggalkan pekerjaan yang sudah 3 tahun dilakoninya, dan mendapat pekerjaan baru yang kurasa tidak normal.  Iya, dulu  ibuku seorang kuli cuci, gaji yang sedikit hanya mampu memberi makan kami saja, uang sekolah nunggak berbulan-bulan. Namun, dengan pekerjaan barunya, ibu mulai bisa melunasi dikit demi sedikit hutangnya pada sekolah. Dari situlah, awal timbul kecurigaan.

---

"Raka..Riki.. tidurlah cepat, besok kalian masuk sekolah pagi, kan?"

"Iya bang" Ucap mereka serempak, aku bingung, mengapa mereka selalu kompak.

"Bang, ibu kemana sih? kenapa dia gak betah dirumah? dia gak sayang ya sama kita?" Raka bertanya.

"Hush, gak boleh gitu, gak ada ibu yang gak sayang sama anak-anaknya. Sudah cepat tidur, tarik selimutnya lalu berdoa"

"Baik bang"

---

Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak, saat itu pukul 3.30 pagi. Aku masih terjaga saat itu, dua bocah yang kuanggap malaikat masih asyik dengan tidur pulasnya. Juga dengkur halusnya yang tak kalah merdu oleh putaran kipas angin. Pagi itu dingin, kulihat gigil di kaki Riki, ternyata selimut asik dikuasai Raka. Dengan penuh cinta, kuambilkan selimut dari lemari tua sepeninggalan ayah. Kembali dengan penuh cinta, kubalutkan selimut pada Riki, adik bungsu ku itu. Aku sontak kaget, ternyata dia tak tidur, sepenggal kalimat dilontarkannya, "Untuk abang yang berhati sutra, terimakasih atas kasihmu, terimakasih atas sayangmu pada kami, aku, mencintaimu dengan sungguh", entah darimana adik bungsuku mendapatkan kata-kata itu. Yang jelas hati bangga bercampur haru mendengar perkataan sederhana itu.

"Dik, terimakasih, kau baik sekali" Pujian itu kulontarkan dengan penuh keikhlasan.

"Maka dari itu, tak sia bapak dan ibu mengajarkan tentang kebaikan, hehe" Katanya sedikit bercanda. "Sudahlah, kembali tidur, pakai selimut itu agar kau tak kedinginan lagi" Kataku sambil meninggalkannya.

---

"Kreeekkk..." terdengar suara pintu yang seolah terbuka, aku kaget, ibuku pulang tak seperti biasanya. Biasanya ia pulang sekiranya 15 menit setelah adzan shubuh berkumandang. Kenapa sekarang pulang lebih cepat? Kini ia tampak kurang cantik, rambut kucel, gincunya yang tak merah lagi, pipi kirinya yang sedikit lebam. "Bu, kenapa sudah pulang? juga mengapa kau begitu berantakan?", "Lalu kenapa dengan pipi kirimu, rona nya pudar, kini yang kulihat biru lebam. Kenapa bu?, dengan penasaran aku terus meng-interogasikannya.

"Apalah kamu ini, macam polisi saja bertanya-tanya haha" Rupanya ibu malah mengajak bercanda anak sulungnya.

"Aku serius, bu"

"Sudahlah, sudah mau adzan, cepat ambil air wudhu, bangunkan adikmu lalu kita sholat berjamaah"

"Ah, ibu menyebalkan"

---

kini hatipun sedikit tenang, ternyata benar, wudhu dan sholat adalah alternatif yang tepat untuk jiwa yang gundah. Tapi aku masih sedikit penasaran, kenapa ibu bisa berantakan sekali pagi itu? apakah benar yang dikatakan tetangga mengenai ibu; bahwa ibu adalah seorang pesolek.

Saat itu aku masih terjaga, rasa penasaran terus memukul-mukul pikiran, dalam selimut.. aku mendengar doa ibu muda yang cantik jelita, ia ibuku. Asik berdoa diatas sajadah usangnya. Banyak kata yang kusimak, rupanya ia berdoa dengan sungguh, entah berapa butir berupa bulir jagung yang turun melewati dagu panjangnya, ia khusyuk berdoa, tanpa rasa malu ia merengek dihadapan tuhan sambil menadahkan kedua tangan mulusnya, dengan sempurna ia melafalkan doa untuk ketiga anaknya, Raka, Riki, dan Saya pun diikut sertakan dalam doanya. Sedikit yang kuingat dalam doanya.

"Tuhan, aku sudah menghamba dihadapanmu pagi ini tuhan. Dengan penuh harap aku berdoa untuk segala kebaikan, mungkin aku akan mengawali doa untuk ketiga anak-ku, beri mereka kecerdasan, beri mereka rezeki, jadikan mereka anak yang berbakti pada orang tua. Tuhan, jika kau jijik mendengar doa dari pesolek seperti saya. Tak apa. Namun, aku tak akan berhenti berdoa untuk kebaikan malaikat-malaikat yang kupunya. Tuhan, jika masih dibukakan pintu maaf, maka aku akan mengampun padamu. Tuhan, tidakkah kau tahu? Menjadi apa yang tidak kita ingin itu menyakitkan? Seraya berlomba memasukan benang kedalam jarum, demi mendapatkan hadiah kita melawan segala resikonya, mana tahu duri itu menancap jari kita sendiri. Sakit bukan?, aku harap engkau memaklumkan, jika tidak dengan cara cepat mencari uang seperti ini.. lalu dengan apa anak-anakku dapat makan? teruntuk tuhan yang maha pengertian, sekali lagi aku mohon, ampunkan diri ini yang sudah terlanjur mengetahui resikonya menancapkan benang ke jarum tadi. Walau ku mengetahui akhirnya, tetap kulalui. Sekali lagi, saya meminta ampun. Saya bertaubat. Dari saya, Wina."

Tercengang ku mendengar doa serta pengakuannya, ternyata pesolek itu ibuku. Yang dibilang mereka benar adanya, Sudah jelas, ibuku adalah seorang pesolek. Entah apa yang harus kurasa. Sedih melihat kenyataan bahwa ibuku mencari duit dengan cara yang tidak halal? atau Bangga melihat ibu yang terpaksa menjadi apa yang tidak diinginkannya demi menghidupi ketiga anaknya? Yang pasti, aku bangga. Terimakasih ibu.

Kini kau sudah tertidur, kau sudah berwudhu, kau sudah bersih dari jamahan beribu-ribu pria. Dan yang aku bangga, aku mendengar kata taubat mu tadi. Oiya, bu, ada sepenggal pesan dibawah bantal yang sengaja kuselipkan, mungkin ketika nanti kau baca, aku sedang tidak dirumah melainkan disekolah.

"Kini aku mengerti. Kau telah mengajarkanku satu hal. Bahwa didunia ini sebenarnya tidak ada orang jahat. Hanya saja, mereka terpaksa memainkan peran Antagonis, sehingga dicap sebagai makhluk paling bengis."


Clar, tunggu aku.


Selamat pagi, Clar.
Saat menulis surat ini keadaanku sedang benar-benar baik, bahkan lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Mungkin aku terlalu semangat menulis surat ini. Ditemani dengan sesachet kopi yang kubeli di warung pagi tadi, aku menyeduhnya, menuangkan bubuk kopi kedalam cangkir berisikan 150 ml air panas, dengan Choco Granule yang kutanam dibusanya. Sesekali aku mengesapnya, wanginya sama seperti saat aku meringkuk di ketiakmu, Clar. Lalu aku menyeruputnya, dan meninggalkan bekas busa yang tertempel di bibir. Sayangnya, kau tak disisi, Clar. Melumat bibir ku hingga habis, sampai kita benar-benar lupa bahwa busa itu sempat ada.

Oh, iya. Bagaimana kabarmu, Clar?
Kamu masih suka dengan hobimu itu, hobi yang membuat ibumu sedikit jengkel dikala musim hujan tiba? Masihkah? Sebab, kau lebih suka mematung dibalik jendela ketika hujan tiba, seraya asik berdansa dengan segala yang kau derita bersama sang hujan. Maka dari itu, saat kau diam mematung, kau abaikan perintah ibumu, sama sekali tak goyah, sama sekali tak pindah sebelum hujan redah. Dan tak lupa aku kejadian saat kita berada di cafe, disuatu tempat. Saat itu hujan tiba, kita duduk tepat disamping sebuah jendela, yang kalau kita melihat keluar, jelas terpampang suatu keindahan disana. Saat itu hujan, dan jendela pun berembun. Ingatkah kamu, Clar? Lalu dengan tanganmu itu kau tulis sebuah nama pada jendela yang berembun, "Clara sayang Galang.", Taukah, Clar? Aku rindu itu. Pokoknya aku rindu semua tentangmu. Tentang kita.


"Maaf Clar telah membuatmu flashback, aku tak bermaksud. Aku hanya rindu, sesederhana itu."
Kabarku baik, Clar.
Kau tak perlu khawatir, disini aku bisa menjaga diri sebaik mungkin. Hanya saja, ada yang susah untuk ku lawan, yaitu; rindu yang membuncah.  Masih teringat jelas ketika saat itu, aku berada dipangkuanmu, menumpahkan semua getir kehidupan di dada legamu, merasa tercebur jiwaku dilahap matamu yang sendu, juga saat sepotong lirik lagu iwan fals yang kau lantunkan, "memang usia kita muda, tapi cinta soal hati... biar mereka bicara, telinga kita terkunci.". Seakan kau benar-benar mau meyakinkan ku dalam pangkuan, bahwa tak perlu lagi ada yang didengar, tutup semua telinga, kita nikmati semua yang ada, padamu; kau yakinkan semua itu.

Duh, maaf Clar, kamu punya sapu tangan ndak?, oh iya, bukannya sapu tangan merah maroon ku masih dikamu? Laptop ku basah nih, boleh aku meminjam untuk mengelapnya?
Iya, itu air mataku. Mungkin itu disebabkan oleh kantung mata yang menyimpan bebannya, memang.. menahan isak tangis itu bukan suatu yang dianjurkan juga suatu hal yang tak perlu dilakukan, sebab ia hanya dapat menampung seketika, dan pada beban beratlah ia pecah, aku rasa, kamu juga sama.

Clar, jika tiap malam diatas sajadah milikmu kau bersimpuh, memohon layaknya seperti aku. Bahwa kau ingin sekali pertemuan. Maka tuhan akan mengabulkan, aku akan ke kotamu, lusa nanti.

Kini, aku ingin mengenalimu dengan teman baru, dia menemanimu sampa nanti aku tiba didepan pintu dan mengetuk pilu rindu. Kenalkan, namanya adalah: Kesepian.  Tenang saja, dia sangat baik. Tapi ingat, kau harus baik padanya juga. Oh, iya. Tentang orang-orang yang bilang bahwa kesepian itu jahat, mereka salah. Orang-orang yang bilang jahat padanya adalah orang yang terus menghakimi dirinya, bahwa kesepian adalah suatu rasa yang tak harus dirasakan. Maka dari situ, kesepian benar-benar murka, lalu dibuatlah orang yang menghakiminya menjadi sepi se-sepi-sepinya.

Aku harap kamu mempunyai jiwa yang besar, bermainlah dengan teman barumu itu. Jangan dinakali. Jika kau benar ikhlas menerimanya sebagai teman, maka ia berjanji tidak lagi menjadi sepi, ia berupaya menjadi diriku, menggenapkan kekosonganmu dengan bayangku. Tahan rindu itu sebentar, terbiasalah pada sepi. Sampai lusa aku datang, dan kita bisa menguasai pertemuan. Love you Clar.

PS: Tulisanmu sudah kubaca, dari mulai cerpen, puisi, hingga semua diksi cemerlang yang kau tanam disemua tulisanmu. Clar, tulisanmu seindah rupamu. Dan untuk kesekian kalinya, aku dibuat jatuh cinta pada keduanya. Tunggu aku lusa nanti, aku datang membawa segembol rindu jahat yang nanti akan terpahat. Lewat pertemuan kita yang sudah tuhan kirimkan rahmat.


Tertanda,
Seorang yang rindu pelukan.

Selasa, 04 Februari 2014

Teruntuk sang pemilik Akar Pikiran.



Holla Iit Sibarani.

Sebelumnya, maafkan aku telah berani menyuratimu. Entah apa yang menjadikan aku ingin menulis semua ini, padahal masih banyak orang lain yang bisa ku kirimkan surat. Tahu dirimu saja belum lama, tapi sudah berani mengirimkan surat. Lancang sekali aku ini. Tapi. Jika kau mau marah? terserah, hukum aku jika kau mau. Yang pasti, aku mau kirim surat kepada sang pemilik akar pikiran ini. Ya, Iit Sibarani.

Kalau boleh, maafkan aku lagi. Sebab, aku telah jatuh hati pada apa yang ada di dirimu. Paras, tulisan, serta kata indah yang selalu bisa menghipnotisku untuk membaca tulisanmu, lagi..lagi..dan lagi.
Adapun jika engkau bisa bertanya, "Bagaimana kau bisa cinta? Sedang kau saja baru mengenalku?".  Hmm.. benar memang, tapi disini kita membicarakan perasaan, bukan tentang pengetahuan.

Kalau boleh sombong, aku adalah penikmat karyamu nomer satu loh. Walaupun banyak diluar sana yang sama halnya seperti ku; Yang bisanya hanya mengaku-ngaku.
Tapi, gak ada salahnya menyandang predikat pada diri sendiri, bukan? "Aku, penggemar karya Iit nomor satu".

Kepada perempuan yang matanya dapat menghangatkan.
Kepada perempuan yang pelukannya adalah senyaman-nyaman nya rumah.
Kepada perempuan yang tulisannya mampu membangunkan.
Juga kepada perempuan yang hatinya tempat terindah dari semua singgah.
Perempuan itu masih sama; Iit Sibarani. Aku mengaguminya.

Jika kau bilang, "Halah, kau terlalu berlebihan dalam memuji ku, kawan". Maka aku dengan ramah menjawabnya.

"Lalu, dengan apa tuhan menciptakan suatu yang indah? Jika tidak dipuji-puji sesuai benar adanya."

Hmm, oiya. Satu pesan dariku. Tulislah semua karya dari tangan ajaib itu lagi, karna, kalau bukan dengan tulisan? bagaiman mereka yang mencintaimu mengenang setelah adanya mati. Mari tulis lagi, buatlah mereka, semua orang, pecinta (karya) mu, dan aku menjadi satu yang sama. Candu dalam membaca.

Sekiranya itu saja dari saya, Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk membaca surat dariku.

Tertanda,
Iky