Rabu, 12 Februari 2014

Rindu pulang.

Banyak bintang yang ku-kantungi dalam kelopak mata yang sendu, pun bulan yang sengaja ku ikat erat pada pergelangan kaki, juga angin yang berusaha ku jaring sembari menari. Malam ini. Sepi.

Bagaimana kabarmu, duhai perempuan yang tak pernah mengeluh dihadapanku?

Menciptakan bayangmu adalah perihal kedamaian, setidaknya membuatku merasa lebih ramai. Namun, itu semua membuat ingatan terpacu pada satu paras, wajah cantik yang kian menua. Tak bisa dipungkiri, waktu kian berlari namun kau tetap berdiri tegak, ikhlas membiarkan waktu menggerogoti usia. Terpampang jelas garis di jidatmu, juga kantung mata yang mulai mengendur sepengheliatanku saat itu. Serta doa yang kau ucap dalam balutan mukenah di atas sajadah tua mu. Aku rindu mendengar namaku disebutkan diantara banyaknya doa yang kau lantunkan, juga rindu yang kian membuncah ingin sekali lagi bersembunyi di balik ketiakmu ketika masalah dengan sombongnya menakut-nakutiku.


Hmm.. oiya. Mantal hasil tenun mu masih ku jaga rapih-rapih, begitu hangat saat kupakai. Mantal yang terbuat dari kucur keringatmu, teguh yang menjelma menjadi jarum, serta rambut putihmu yang kau jadikan benang. Sungguh benar-benar membuatku nyaman. Seraya mendapat pelukan dari jarak bermilyaran jejak. Mungkin mantal pemberianmu ini adalah sebuah perantara simbol cinta. Terimakasih.

Maafkan aku jika lisan selalu terbata mengucap kata sayang dihadapanmu --entah, mulut kian tertekuk saat kalimat ingin keluar, biarlah kata menyiapkan dirinya --mencari celah terhadap kegengsiannya; memberanikan diri pada keraguannya.

Biarlah dulu surat ini kusimpan rapi-rapi dalam peti hati. Sampai nanti aku pulang, membusungkan dada dan memberanikan diri, mengepak sayap mengeluarkan keris dari wangkara, membunuh satu-satu gengsi yang mengabdi pada hati.

Aku; Ingin mengecup keningmu, seraya berkata "aku sayang ibu". Kembali pada sebenar-benarnya rumah tempat bersinggah, yaitu pelukan.



Tertanda,
Bocah kecilmu yang rindu pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar