Senin, 17 Februari 2014

Dasar cengeng

Sore itu terlihat indah, senja mulai terlihat ronanya. Sebagian langit masih abu-abu dan aku berusaha menyibak demi mendapati jingganya. Alih-alih kepala, melihat sekitar, mataku tertuju pada seorang pria, masih terpampang jelas bayangnya ketika sore di stasiun kota. Ia itu dirimu. Saat itu kau sedang duduk asik dengan rokok di tangan kiri, juga koran yang dipegang dengan kedua tangan. Matamu besar, bola matamu kian begantian ke kiri dan ke kanan, kau asik membaca.

Mataku masih terjaga, kuhampiri dirimu semata ingin mendapat lawan bicara.

Hai.

Kataku saat itu, dan kamu membalas salam ku dengan ramah. Nada suaranya besar, kurasa pas untuk badan yang dua kali lipat denganku, aku berani menerka bahwa tinggimu 180 dan berat badanmu 70. Kau gagah, tegak seperti tentara.

"Namamu siapa? Kau mau kemana?" Tanyaku. "Aku Alex mas. Aku ingin menemui kekasihku, terakhir, aku membuatnya menangis dan kini aku mau meminta maaf" Jawabmu.

Seketika hening terjadi, aku mendapati ada Obituari di koran yang kau pegang, "Seorang ibu mati tersengat listrik" Begitu kiranya isi dari koran tersebut. Dengan nada yang tak keras dan tak lemah, kau mendengar aku membaca.

"Kau mau membaca koranku, Mas?" Tawaranmu. "Oh tidak, tadi aku tak sengaja melihat berita kematian seorang ibu". "Mana?", "Itu ada di halaman belakang".

Dan saat itu kau membalikkan koran, melihat dengan seksama, seketika matamu berkaca, Benda yang berukuran buah pinang sesekali naik turun di lehermu. Koran terjatuh dan tak lama jauh tertiup deru angin.

"Kau kenapa, Lex? Mengapa menangis?" Tanyaku. "Ibu tadi, ialah Ibuku mas" Jawabmu. "aku turut berduka, Lex. Lalu, kau mau apa setelah mendengar berita tadi?", "Aku ingin pulang", "Lalu kekasihmu?", "Maukah kau membantuku?, tolong kau kerumahnya, sampaikan permintaan maafku, kabari juga bahwa ibuku telah tiada", "Ngg.. tapi Lex", "Anggap saja ini permintaanku atas perkenalan kita". Dengan berat hati aku mengiyakan.

Satu haripun berlalu, jika boleh aku mau menitip salam pada ibumu di surga, dan aku ingin berkata, wanitamu sungguh cantik, pantas kau ingin sekali mendapatkan maafnya. Dan taukah kau, Lex? Katanya, dia sudah lama memaafkanmu.

Oiya, kapan-kapan aku akan mengunjungi mu. Aku ingin berbisik di kupingmu. "Dasar cengeng. Badan saja besar, ternyata hobi menangis di depan wanita". Haha, pasti sekarang ada wanitamu disana. Silakan cubit pipinya, sebab ia yang menceritakan itu semua.

Tertanda,
Seorang teman ngobrol di stasiun kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar