Kamis, 13 Februari 2014

Ada bulan di cangkir kopimu





Tak ada yang lebih dulu dari sajak; kecuali nafsu jari pembuat kopi yang segera beranjak. Juga tak ada yang dijanjikan pagi kecuali hangat surya dan wangi yang terbit dari secangkir kopi.

Nona.

Aku adalah secangkir kopi yang biasa kau seduh pada pagi --pun ketika senja mulai tergulung sepi. Membuka lebar telinga mendengar keluh lewat tangis yang kau jadikan arti. Setetes tangis yang keluar akibat perasaan hati yang membuncah kian tumpah pada wadah secangkir kopi yang tabah.
Aku adalah secangkir kopi yang kau buat dengan penuh cinta. Terimakasih atas kerjasamanya, berusaha pertahankan panas walau sang dingin mengurung kita.




Teringat pada hobimu. Duduk dibawah pohon besar dengan murung serta aku sebagai pelengkapnya.
Sesekali kau teguk diriku dalam jeda tangismu, dan pada saat itu juga bibir kita bersentuhan dan diriku yang penasaran. Kalau boleh bertanya, kenapa selalu ada tangisan?

Sesekali juga kau berkaca pada diriku, meneteskan rinai hujan membuat sungai, kopi yang kau buat nikmat kini berubah tak lagi hangat, sebab kopi kian teraduk pada tangis yang kian melekat. Kalau boleh bertanya, kapan tangismu tamat?

Nona, aku akan bercerita suatu kisah padamu. Dulu juga aku seorang yang murung. Dulu, aku adalah seorang kopi yang manis, tapi semua berubah ketika tuan yang angkuh iri melihat aku bermesraan dengan gula. Gula itu pacarku, dia baik, dia cantik, sama sepertimu. Lalu aku penasaran kenapa si tuan memisahkan kita? Lalu si gula menjawab "Tuan dimarahi ibunya, sebab ia tidak boleh lagi dengan yang manis-manis"

Lalu, aku berpisah dengan gula, dan kini aku bertemu lagi dengannya lewat dirimu. Sebelumnya, terimakasih telah mempertemukan ku lagi dengan gula. Apakah kisahmu sama denganku? Apakah kau murung sebab adanya suatu pisah? Tenang saja nona, jika jodoh takan lari kemana.

Nona, apakah kau tahu? Ketika adanya suatu kesedihan, rupanya ada suatu kebahagiaan yang terselip, dan bahkan kerap kali kita tidak mengetahuinya. Disaat kau berkaca pada diriku, ada suatu keindahan yang mutlak namun samar untuk kau lihat. Adalah bulan yang tercebur kedalam matamu. Itu yang membuat hariku tidak murung lagi ketika melihat kau berkaca padaku.

Aku tahu, sedihmu akan segera tuntas, maka tuntaskanlah. Jangan biar ia mengendap lama-lama. Cukup hangat ku saja yang kian mengendap pada kerongkonganmu, itu.

Sebelumnya, aku ada pesan untukmu. Berhenti konsumsi yang manis. Sekarang aku mengerti, lebih baik kau minum yang tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pahit. Sebab, aku tidak ingin kamu dimarahi ibumu seperti tuanku dulu yang dimarahi ibunya yang menyebabkan aku dan gula pisah. Bukan aku egois, itu semua karna kepentinganmu. Karna aku menyayangimu.

Tertanda,
Secangkir kopi hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar