Rabu, 05 Februari 2014

Dialah perempuan itu; Ibu



Jelas terpampang didepan mata, wajah cantik nan jelita, hidungnya yang mancung, rambut bergelombang, (yang sengaja dihitamkan oleh pewarna rambut), pipinya yang merona, alisnya yang hitam menyala, juga bibirnya yang merah merekah, sedang asik duduk di meja riasnya.

"Bu.."

Ibuku masih terdiam, asik dengan gincu yang ditorehkan ke bibir tebalnya.

"Bu.." Ucapku lagi.

"Iya, kenapa nak?"

"Kau mau kemana, tetaplah dirumah. Siapa yang menjaga kedua adikku. Aku masih terlalu kecil untuk menjaganya, bu." Ucapku memohon agar ibu tak meninggalkan rumah.

"Ayolah nak, kamu kan sudah besar, sudah kelas 1 Sma, apalagi kamu lelaki, lagipula.. kalau ibu tidak bekerja, siapa yang membiayai sekolah kamu, juga adik kembarmu yang kebetulan masih duduk dibangku 5 sekolah dasar?, tau kenapa almarhum ayahmu memberimu nama Argani? Sebab, ia mau kelak anaknya menjadi pemberani. Sudah, dengar saja kata ibu, jangan jadi pengecut. Jaga adikmu baik-baik sampai ibu kembali pulang" Ibu memberi pengertian.

"Ngg.. tapi bu.. yasudahlah, baik bu" Akupun meng-iyakan.

Sudah dua minggu belakangan ini, aku mulai curiga sama apa yang dikerjakan ibu. Bagaimana bisa ibu meninggalkan pekerjaan yang sudah 3 tahun dilakoninya, dan mendapat pekerjaan baru yang kurasa tidak normal.  Iya, dulu  ibuku seorang kuli cuci, gaji yang sedikit hanya mampu memberi makan kami saja, uang sekolah nunggak berbulan-bulan. Namun, dengan pekerjaan barunya, ibu mulai bisa melunasi dikit demi sedikit hutangnya pada sekolah. Dari situlah, awal timbul kecurigaan.

---

"Raka..Riki.. tidurlah cepat, besok kalian masuk sekolah pagi, kan?"

"Iya bang" Ucap mereka serempak, aku bingung, mengapa mereka selalu kompak.

"Bang, ibu kemana sih? kenapa dia gak betah dirumah? dia gak sayang ya sama kita?" Raka bertanya.

"Hush, gak boleh gitu, gak ada ibu yang gak sayang sama anak-anaknya. Sudah cepat tidur, tarik selimutnya lalu berdoa"

"Baik bang"

---

Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak, saat itu pukul 3.30 pagi. Aku masih terjaga saat itu, dua bocah yang kuanggap malaikat masih asyik dengan tidur pulasnya. Juga dengkur halusnya yang tak kalah merdu oleh putaran kipas angin. Pagi itu dingin, kulihat gigil di kaki Riki, ternyata selimut asik dikuasai Raka. Dengan penuh cinta, kuambilkan selimut dari lemari tua sepeninggalan ayah. Kembali dengan penuh cinta, kubalutkan selimut pada Riki, adik bungsu ku itu. Aku sontak kaget, ternyata dia tak tidur, sepenggal kalimat dilontarkannya, "Untuk abang yang berhati sutra, terimakasih atas kasihmu, terimakasih atas sayangmu pada kami, aku, mencintaimu dengan sungguh", entah darimana adik bungsuku mendapatkan kata-kata itu. Yang jelas hati bangga bercampur haru mendengar perkataan sederhana itu.

"Dik, terimakasih, kau baik sekali" Pujian itu kulontarkan dengan penuh keikhlasan.

"Maka dari itu, tak sia bapak dan ibu mengajarkan tentang kebaikan, hehe" Katanya sedikit bercanda. "Sudahlah, kembali tidur, pakai selimut itu agar kau tak kedinginan lagi" Kataku sambil meninggalkannya.

---

"Kreeekkk..." terdengar suara pintu yang seolah terbuka, aku kaget, ibuku pulang tak seperti biasanya. Biasanya ia pulang sekiranya 15 menit setelah adzan shubuh berkumandang. Kenapa sekarang pulang lebih cepat? Kini ia tampak kurang cantik, rambut kucel, gincunya yang tak merah lagi, pipi kirinya yang sedikit lebam. "Bu, kenapa sudah pulang? juga mengapa kau begitu berantakan?", "Lalu kenapa dengan pipi kirimu, rona nya pudar, kini yang kulihat biru lebam. Kenapa bu?, dengan penasaran aku terus meng-interogasikannya.

"Apalah kamu ini, macam polisi saja bertanya-tanya haha" Rupanya ibu malah mengajak bercanda anak sulungnya.

"Aku serius, bu"

"Sudahlah, sudah mau adzan, cepat ambil air wudhu, bangunkan adikmu lalu kita sholat berjamaah"

"Ah, ibu menyebalkan"

---

kini hatipun sedikit tenang, ternyata benar, wudhu dan sholat adalah alternatif yang tepat untuk jiwa yang gundah. Tapi aku masih sedikit penasaran, kenapa ibu bisa berantakan sekali pagi itu? apakah benar yang dikatakan tetangga mengenai ibu; bahwa ibu adalah seorang pesolek.

Saat itu aku masih terjaga, rasa penasaran terus memukul-mukul pikiran, dalam selimut.. aku mendengar doa ibu muda yang cantik jelita, ia ibuku. Asik berdoa diatas sajadah usangnya. Banyak kata yang kusimak, rupanya ia berdoa dengan sungguh, entah berapa butir berupa bulir jagung yang turun melewati dagu panjangnya, ia khusyuk berdoa, tanpa rasa malu ia merengek dihadapan tuhan sambil menadahkan kedua tangan mulusnya, dengan sempurna ia melafalkan doa untuk ketiga anaknya, Raka, Riki, dan Saya pun diikut sertakan dalam doanya. Sedikit yang kuingat dalam doanya.

"Tuhan, aku sudah menghamba dihadapanmu pagi ini tuhan. Dengan penuh harap aku berdoa untuk segala kebaikan, mungkin aku akan mengawali doa untuk ketiga anak-ku, beri mereka kecerdasan, beri mereka rezeki, jadikan mereka anak yang berbakti pada orang tua. Tuhan, jika kau jijik mendengar doa dari pesolek seperti saya. Tak apa. Namun, aku tak akan berhenti berdoa untuk kebaikan malaikat-malaikat yang kupunya. Tuhan, jika masih dibukakan pintu maaf, maka aku akan mengampun padamu. Tuhan, tidakkah kau tahu? Menjadi apa yang tidak kita ingin itu menyakitkan? Seraya berlomba memasukan benang kedalam jarum, demi mendapatkan hadiah kita melawan segala resikonya, mana tahu duri itu menancap jari kita sendiri. Sakit bukan?, aku harap engkau memaklumkan, jika tidak dengan cara cepat mencari uang seperti ini.. lalu dengan apa anak-anakku dapat makan? teruntuk tuhan yang maha pengertian, sekali lagi aku mohon, ampunkan diri ini yang sudah terlanjur mengetahui resikonya menancapkan benang ke jarum tadi. Walau ku mengetahui akhirnya, tetap kulalui. Sekali lagi, saya meminta ampun. Saya bertaubat. Dari saya, Wina."

Tercengang ku mendengar doa serta pengakuannya, ternyata pesolek itu ibuku. Yang dibilang mereka benar adanya, Sudah jelas, ibuku adalah seorang pesolek. Entah apa yang harus kurasa. Sedih melihat kenyataan bahwa ibuku mencari duit dengan cara yang tidak halal? atau Bangga melihat ibu yang terpaksa menjadi apa yang tidak diinginkannya demi menghidupi ketiga anaknya? Yang pasti, aku bangga. Terimakasih ibu.

Kini kau sudah tertidur, kau sudah berwudhu, kau sudah bersih dari jamahan beribu-ribu pria. Dan yang aku bangga, aku mendengar kata taubat mu tadi. Oiya, bu, ada sepenggal pesan dibawah bantal yang sengaja kuselipkan, mungkin ketika nanti kau baca, aku sedang tidak dirumah melainkan disekolah.

"Kini aku mengerti. Kau telah mengajarkanku satu hal. Bahwa didunia ini sebenarnya tidak ada orang jahat. Hanya saja, mereka terpaksa memainkan peran Antagonis, sehingga dicap sebagai makhluk paling bengis."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar