Kamis, 06 Februari 2014

Bocah yang kuanggap Bapak.


Teruntuk lelaki yang pemberani.

Kau ingat percakapan singkat kita waktu itu? Sebelumnya, saat itu aku sedang melakukan perjalanan menuju rumah kekasihku, Clara namanya. Nama yang cukup sederhana untuk wanita yang sangat istimewa. Perjalanan ku dimulai saat matahari terik-teriknya. Saat itu ramai penduduk kota bertebaran dijalan, lalu lalang kendaraan membuat asap polusi tak terkendali, yang menyebabkan pepohonan ingin memuntahkan mual dengan segera, pada saat itu aku sedang asyik menyeruput kopi di warung yang tak begitu mewah, cukup nikmat kopi yang ku minum saat itu, mungkin karna semangat ingin kerumah sang kekasih.

Teralih kepala saat itu. Tak sengaja aku melihatmu sedang asyik duduk di koridor jalan raya, sembari jari tangan menghitung beberapa uang ribuan, dan tak sedikit kulihat banyak uang logaman. Aku salut, pandai sekali kau mencari uang pada umur yang kubilang bukan saatnya kau mencari uang.

Karna sangat penasaran dan terkesan, kupanggil dan kau menghampiri. Ingatkah kau saat itu, kawan? kuharap kau ingat, ya. Dengan menaruh uang pendapatan ke saku celanamu, sambil menenteng gitar yang kubilang sangat mungil, kau menyebutnya itu ukulele, kau menghampiriku dengan cepat. Tak bagus rupa ukulele itu, banyak bagian cat yang terkelupas oleh panasnya sang raja siang, aku rasa.. kulitmu juga ikut terbakar bersamaan dengan gitar mungilmu itu, bedanya.. sakitmu tak terlihat.

"Siapa namamu?" tanyaku saat itu. "Budi mas" Kau menjawabnya dengan sangat sopan. "Kamu tidak sekolah, inikan masih jam sekolah?", tanyaku dengan segala rasa penasaran. "Oh, tidak mas. Kedua adikku yang saat ini sedang sekolah. Aku, tidak. Aku kan bapaknya. Tapi sayang, ibu mereka ibuku juga. Haha" Saat itu kau malah melawak. "Aku serius, Bud" Tegasku. "Loh aku lebih serius toh mas. Bapakku dipenjara, saat itu ia ketahuan masa sedang mencuri TV milik warga, yang kebetulan tetanggaku juga. Buat makan kami katanya" Katamu sambil tertawa. "Lalu kenapa kau tidak mencuri seperti bapakkmu? haha" aku meledek. "Woalah, ndak mas. Masa aku mau ikuti jejak bapak. Emoh aku." Katamu.

Saat aku menulis surat ini, aku sedang asik bercerita perjalan hidupmu pada kekasihku. Ku hebat-hebatkan kamu dimatanya. Aku bilang, aku bangga bertemu denganmu. Aku bangga bertemu gitar yang kau sebut ukulele itu, ukulele yang senarnya diciptakan dari tabah ibumu. ukulele yang leher dan bodinya tercipta dari keberanian bapakmu. ukulele yang sisa komponennya terbuat dari doa adik-adikmu. Dan secara kesatuan, Ukulele itu menjelma menjadi dirimu. Budi adalah Ukulele. Dan Ukulele adalah Budi. Sebab, separuh jiwamu ada pada benda mata pencarianmu itu.

Tau apa yang dibilang kekasihku tentangmu?, ia penasaran dan berkata "Lalu apa? bagaimana kelanjutannya?Aku melanjutkannya..

Lalu aku membangga-banggakanmu lagi. Aku bilang padanya, kamu menggantikan bapakmu sebagai kepala keluarga. Kaubilang, ibumu sudah renta dan kau tak tega melihatnya kerja. Lalu kau beranikan diri menampar kerasnya kehidupan, kau lipat rapi-rapi rasa ketakutan, kau lahap dengan tenang segala keragu-raguan. Kau turun kejalan semata ingin mendapatkan beberapa uang untuk keluarga makan, kau beralih dari angkutan umum satu ke angkutan umum yang lainnya. Kau sulap air matamu menjadi sebuah notasi, kau sulap isi hatimu menjadi lirik lagu, kau sulap sakit dihati menjadi pelipur lara, hatimu berteriak ikhlas, menyanyi tanpa malas, walau banyak yang sengaja menghiraukannya, bahkan ingin dirimu segera tuntas.

Aku tak tahu pasti apa yang kau rasakan, tapi batinku seolah mengerti. Bahwa apa yang kau rasakan, sama dengan apa yang kupikirkan.

Lalu, aku tahu. Mulutmu seakan mau menganga bilang "aku tak sanggup". Tapi rasa tanggung jawabmu segera cepat-cepat menusuk dan mengancam ingin memutuskan urat lehermu jika kau menyerah. Maka dengan respon cepat, kau menyanggupkan.

Lalu, aku tahu. Busik tangan dan kakimu pertanda, bahwa matahari sangat bersahabat pada keduanya. Tanpa manja kau mensyukurinya, tanpa memakai krim anti matahari pun kau tak apa-apa. Sungguh kau sangat menikmatinya.

Dan tahukah kau perkataan kekasihku setelah mendengar kisahmu, Bud?

Kekasihku bilang.. "Pertemukan aku dengan dia!!! aku ingin tahu lelaki kecil itu yang bisa membuat pacarku menangis ketika bercerita".Dia bilang seperti itu, Bud. Ia benar, aku menangis. Aku menangis menceritakan kisahmu kepadanya. Untuk seorang lelaki, sebenarnya aku malu menangisi seorang lelaki juga. Tapi, tidak untukmu, Bud.
Saat itu kau bilang, kau tidak bisa membaca. Dan aku berjanji akan mengirimkan surat ke alamat rumahmu. Dan aku bilang janganlah kau memohon orang lain untuk membacakannya. Sebab, aku ingin, kau bisa membaca surat ini tanpa bantuan. Sampai kau bisa membacanya sendiri, minimal mengeja surat ini.

Entah kapan surat ini kau baca. Atau kau terlalu sibuk untuk bekerja sehingga tak sempat membaca? Tak apa. Bertemu mu membuat aku merasa lebih bahagia. Sesederhana itu.

Bertemu mu mendapat sebuah pelajaran. Kadang, hidup ini terlalu bengis, tak adil, dan mau tidak mau kita siap menerima apapun penetapannya. Padahal tidak. Haruskah kita pasrah? tidak. Sebab kalau kita mau melawan, kita menang, karna dari lahir, kita ini bukan pecundang. Melawan jutaan sel sperma, dan lahirlah kita."


Dan yang paling aku ingat adalah, ketika kau bisikan kata-kata ke telinga ku, Bud:
"Kalau kalian bilang manusia itu berbeda kasta. Kalian salah. Lihat saat kita menjadi sperma. Semua sama, botak dan mempunyai buntut seperti kecebong. Dan mengertilah kalian, jangan sombong."
Sekian dari saya, Bud. Aku mengagumimu.


Tertanda,
Seorang yang pernah kau pinjamkan ukulele.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar