Minggu, 16 Februari 2014

Nocturnal

Malam semakin terlihat gulitanya, hitam dan kelam seakan menemani kesendirian sang berandal malam yang jekpot di pinggir jalan. Dingin, gigil tubuhmu saat itu dibalut angin malam yang jahat, hanya perisai yang kau sebut jaket yang sekadar menjadi penghangat.

Satu..dua..tiga kali muntahan kau keluarkan di trotoar, kau tertawa seraya tak gentar, maju sempoyongan kau terus berjalan, melawan benci demi harapan. Satu-persatu musuh telah terbunuh oleh botol yang kau tenggak tadi, dan satu-persatu musuh kembali, setelah efek minuman tadi pergi.

Botol minum kau jadikan teman, setiap malam kau hidangkan. Lebam pipi bekas perkelahian tak kau pikirkan, malah kau anggap sebagai dandanan. Sampai kapan kau bertahan, kawan? Di bawah langit terus menjerit, di atas bumi kau terhimpit? Sampai kapan kau tertidur atau memang setengah tidur? Bangunlah, tampar diri hadapi mentari.


Meski doa selalu kau lantunkan agar bulan memayungi diri, agar bintang menjadi penerang bagi dirimu yang malang.  Namun pagi tetap datang sesuai janjinya, membawa surya menghangatkan jiwa.

Bangun, matikan rokok, ganti asap yang mengendap dalam paru dengan rejeki pagi agar tak beku.


Tuan, sadarlah. Mengapa kau beli lentera untuk menerangkan malam mu yang kelam, sedang mentari pagi lebih terlihat jelas pancarannya? Mengapa kau keluar saat gelap mengurung diri, sedang kau bisa terlelap dan bermimpi?



Tuan, aku adalah seorang yang melihatmu tadi malam, di bangku terminal kau kedinginan. Biarlah dulu surat ini tak kusampaikan, kutahan dalam benak yang nanti akan beranak, semoga salah satu dari anak surat ini ada yang berani menghampiri sekaligus menampar dan membangunkan Berandal malam di bangku terminal.


Tertanda,
Pemuda yang menyiram bekas muntahmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar